Senin, 07 Januari 2013

Reformasi Birokrasi: Renungan Awal Tahun 2013

Reformasi. Sebuah kata yang begitu populer di Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru berakhir tahun 1998. Semua orang bersemangat menggunakan kata ini. Bahkan, lingkungan pemerintahan pun menggunakan jargon ini: reformasi birokrasi. Setelah memasuki tahun ke-14, sudah sampai di mana proses reformasi kita? Apakah kita berhasil mereformasi Indonesia? Atau, reformasi sedang memasuki era kegagalannya, setelah banyaknya "penumpang gelap" reformasi?
Dalam lingkungan birokrasi, memang telah dibentuk struktur tim reformasi birokrasi nasional, di mana komite pengarahnya dipimpin langsung oleh wakil presiden. Bahkan, untuk mendampingi komite pengarah, telah dibentuk tim independen dan tim quality assurance. Pelaku langsung reformasi birokrasi adalah unit pelaksana reformasi birokrasi nasional, yang diketuai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB).
Sayangnya, tim independen dan tim quality assurance yang kebanyakan berasal dari kompenen akademisi dan civil society tampaknya sudah mulai dalam posisi gamang ketika proses reformasi itu ternyata banyak dinodai berbagai kepentingan. Lihatlah contoh tidak jelasnya posisi Kementerian PAN dan RB. Di satu sisi ia akan ditempatkan sebagai koordinator pelaku reformasi, ia juga ingin berperan sebagai assurer proses reformasi birokrasi, bahkan mengambil peran tim independen.
Memang, pembentukan tim reformasi pada tingkat nasional ini telah mengalami beberapa permasalahan. Pada awalnya, proses reformasi birokrasi akan dipimpin langsung oleh wakil presiden. Sialnya, pada saat yang sama Kementerian PAN telah diubah menjadi Kementerian PAN dan RB. Mau tidak mau, akhirnya kementerian ini juga harus diperankan dalam urusan reformasi. Akhirnya, terbentuklah struktur saat ini berdasarkan kompromi para pihak, sesuai dengan budaya Indonesia yang kompromistis. 
Berdasarkan kondisi itu, tidaklah terlalu mengagetkan jika kata reformasi yang mestinya berkonotasi sebagai hal yang radikal, di Indonesia dipersepsikan sebagai kata yang biasa saja, bahkan menjadi sulit dibedakan dengan hanya dimaknai sebagai penataan-ulang saja.
Proses reformasi pun kini dimaknai sebagai pemenuhan checklist dalam rangka memperoleh remunerasi. Sebuah checklist yang dibentuk tanpa melibatkan publik sebagai pengguna langsung layanan publik. Akhirnya, setelah checklist dipenuhi dan remunerasi diperoleh, publik mempertanyakan hasil real reformasi birokrasi. Mereka masih belum melihat manfaat signifikan dari proses reformasi birokrasi.
Memang, kita juga tidaklah pantas menafikan kemajuan yang telah diperoleh dari reformasi pelayanan publik. Sayangnya, inisiatif perubahan itu masih bersifat parsial-parsial. Masing-masing lembaga begitu bersemangat mencari quick win hasil reformasi. Di tingkat kepolisian, layanan penerbitan ijin mengemudi yang lebih cepat. Di imigrasi, layanan pembuatan paspor. Di pemerintah daerah, layanan penerbitan kartu penduduk.
Namun, karena bersifat parsial, sustainability quick win tersebut menimbulkan pertanyaan. Lihatlah contoh ketika pejabat kepolisian yang mengurusi kelantasan terlibat kasus korupsi, apakah quick win layanan kelantasan akan berkembang, atau stuck sama sekali? Lihat kondisi di mana sampai sekarang kita tidak memiliki sistem layanan SIM yang terintegrasi dan sistemnya masih terpaku berdasarkan region-region tertentu. 
Di awal 2013 ini, sudah selayaknya semua pihak merenungkan kembali posisinya masing-masing. Semua pihak harus jujur mengakui apa yang belum berhasil dilakukan dan apa yang sudah berhasil dilakukan. Dari sinilah, awal dapat disusunnya rencana aksi reformasi birokrasi yang lebih mengena langsung ke publik sebagai the real customer of pulic services.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar