Reformasi. Sebuah kata yang begitu populer di Indonesia sejak
pemerintahan Orde Baru berakhir tahun 1998. Semua orang bersemangat
menggunakan kata ini. Bahkan, lingkungan pemerintahan pun menggunakan
jargon ini: reformasi birokrasi. Setelah memasuki tahun ke-14, sudah
sampai di mana proses reformasi kita? Apakah kita berhasil mereformasi
Indonesia? Atau, reformasi sedang memasuki era kegagalannya, setelah
banyaknya "penumpang gelap" reformasi?
Dalam lingkungan birokrasi, memang telah dibentuk struktur tim reformasi
birokrasi nasional, di mana komite pengarahnya dipimpin langsung oleh
wakil presiden. Bahkan, untuk mendampingi komite pengarah, telah
dibentuk tim independen dan tim quality assurance. Pelaku langsung
reformasi birokrasi adalah unit pelaksana reformasi birokrasi nasional,
yang diketuai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (PAN dan RB).
Sayangnya, tim independen dan tim quality assurance yang kebanyakan
berasal dari kompenen akademisi dan civil society tampaknya sudah mulai
dalam posisi gamang ketika proses reformasi itu ternyata banyak dinodai
berbagai kepentingan. Lihatlah contoh tidak jelasnya posisi Kementerian
PAN dan RB. Di satu sisi ia akan ditempatkan sebagai koordinator pelaku
reformasi, ia juga ingin berperan sebagai assurer proses reformasi
birokrasi, bahkan mengambil peran tim independen.
Memang, pembentukan tim reformasi pada tingkat nasional ini telah
mengalami beberapa permasalahan. Pada awalnya, proses reformasi
birokrasi akan dipimpin langsung oleh wakil presiden. Sialnya, pada saat
yang sama Kementerian PAN telah diubah menjadi Kementerian PAN dan RB.
Mau tidak mau, akhirnya kementerian ini juga harus diperankan dalam
urusan reformasi. Akhirnya, terbentuklah struktur saat ini berdasarkan
kompromi para pihak, sesuai dengan budaya Indonesia yang kompromistis.
Berdasarkan kondisi itu, tidaklah terlalu mengagetkan jika kata
reformasi yang mestinya berkonotasi sebagai hal yang radikal, di
Indonesia dipersepsikan sebagai kata yang biasa saja, bahkan menjadi
sulit dibedakan dengan hanya dimaknai sebagai penataan-ulang saja.
Proses reformasi pun kini dimaknai sebagai pemenuhan checklist dalam
rangka memperoleh remunerasi. Sebuah checklist yang dibentuk tanpa
melibatkan publik sebagai pengguna langsung layanan publik. Akhirnya,
setelah checklist dipenuhi dan remunerasi diperoleh, publik
mempertanyakan hasil real reformasi birokrasi. Mereka masih belum
melihat manfaat signifikan dari proses reformasi birokrasi.
Memang, kita juga tidaklah pantas menafikan kemajuan yang telah
diperoleh dari reformasi pelayanan publik. Sayangnya, inisiatif
perubahan itu masih bersifat parsial-parsial. Masing-masing lembaga
begitu bersemangat mencari quick win hasil reformasi. Di tingkat
kepolisian, layanan penerbitan ijin mengemudi yang lebih cepat. Di
imigrasi, layanan pembuatan paspor. Di pemerintah daerah, layanan
penerbitan kartu penduduk.
Namun, karena bersifat parsial, sustainability quick win tersebut
menimbulkan pertanyaan. Lihatlah contoh ketika pejabat kepolisian yang
mengurusi kelantasan terlibat kasus korupsi, apakah quick win layanan
kelantasan akan berkembang, atau stuck sama sekali? Lihat kondisi di
mana sampai sekarang kita tidak memiliki sistem layanan SIM yang
terintegrasi dan sistemnya masih terpaku berdasarkan region-region tertentu.
Di awal 2013 ini, sudah selayaknya semua pihak merenungkan kembali
posisinya masing-masing. Semua pihak harus jujur mengakui apa yang belum
berhasil dilakukan dan apa yang sudah berhasil dilakukan. Dari sinilah,
awal dapat disusunnya rencana aksi reformasi birokrasi yang lebih
mengena langsung ke publik sebagai the real customer of pulic services.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar